HASIL SAGKI
Wednesday, March 15, 2006
  REKOMENDASI SAGKI 2005
SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA 2005
Wisma Kinasih, Caringin-Bogor, 16-20 November 2005PENGANTAR

1. Keprihatinan bangsa merupakan keprihatinan Gereja. Dalamkeprihatinan tersebut diselenggarakan Sidang Agung Gereja KatolikIndonesia (SAGKI) 2005 di Caringin Bogor pada tanggal 16-20 November2005. Bangkit dan Bergeraklah merupakan tema SAGKI 2005, yang diharapkanmampu meningkatkan semangat Gereja terlibat dalam mengatasi keprihatinanbangsa. Keprihatinan kita semakin mendalam karena peristiwa-peristiwakekerasan masih terjadi di sekitar kita, terutama kekejaman yang terjadidi Poso yang tak kunjung usai dan pengeboman di Bali (1 Oktober 2005).Semoga kebangkitan Tuhan tetap menjadi kekuatan bagi kita untuk bangkitmembangun masa depan yang lebih baik.
2. SAGKI 2005 dihadiri oleh 343 utusan dari keuskupan-keuskupanseluruh Indonesia. Perjumpaan para utusan yang terdiri dari perempuan(111) dan laki-laki (232): awam (211), imam/biarawan/biarawati (96) danpara uskup (36) menghadirkan miniatur Gereja Katolik Indonesia.Kehadiran kaum muda pada SAGKI 2005 menampakkan wajah muda Gereja yanghidup. Penyelenggaraan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 dapatditelusuri prosesnya sejak dari Sidang Agung yang pertama tahun 1995yang memaklumatkan Pedoman Gereja Katolik Indonesia sebagai hasilrefleksi pelaksanaan ajaran-ajaran sosial Gereja di Indonesia. Pedomantersebut mendorong umat Katolik untuk melibatkan diri sepenuhnya dalamperjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat adil, makmur dansejahtera. Lewat SAGKI 2000, umat Katolik kemudian didorong lagi untukmengembangkan kesadaran akan jatidiri dan peran sebagai orang berimankristiani dalam masyarakat Indonesia dengan memberdayakan komunitasbasis.
3. Menyadari keprihatinan hidup sekarang ini yang dinyatakan dalamNota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) November 2004sebagai keadaban publik yang telah rusak, orang muda Katolik Indonesiadalam Pertemuan Nasional (Pernas) tanggal 12-16 November 2005 sepakatmemulai gerakan merintis keadaban publik. SAGKI 2005 melanjutkanlangkah itu dengan berseru kepada segenap anggota Gereja untuk bangkitdan bergerak guna ikut dan terlibat membentuk keadaban publik barubangsa Indonesia. Untuk itu perlu ada kesinambungan antara gerakankomunitas basis yang telah digagas sejak tahun 2000 dengan bangkitnyagerakan orang muda merintis keadaban publik, guna menanggapi berbagaipermasalahan yang ada di lingkungan Gereja dan bangsa.
MELIHAT REALITAS
4. Untuk dapat mewujudkan panggilan-Nya, Gereja perlu senantiasa"menganalisis secara objektif" situasi yang khas bagi negeri sendiri,menyinarinya dengan terang Injil yang tidak dapat diubah, dan denganajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi, norma-normauntuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak." (OctogesimaAdveniens 4) Ajaran tersebut ditegaskan lagi oleh Konsili Vatikan IIdengan rumusan, agar umat semakin mampu menangkap tanda-tanda zaman, danmeneranginya dalam cahaya Injil (bdk. Gaudium et Spes 4). Berkaitandengan situasi khas negeri kita, masukan dari keuskupan-keuskupanmenunjukkan, bahwa berbagai bentuk ketidakadaban publik yang palingmendesak untuk diatasi bersama dapat diringkas menjadi 17 pokok masalahberikut, yaitu: Keretakan Hidup Berbangsa dan Formalisme Agama, OtonomiDaerah dan Masyarakat Adat, Korupsi (masalah budaya), Korupsi (masalahlemahnya mekanisme kontrol), Kemiskinan, Pengangguran,Kriminalitas/Premanisme, Perburuhan, Pertanian, Lingkungan Hidup(berkaitan dengan hutan), Lingkungan Hidup (berkaitan dengan non-hutan),Pendidikan Formal: Dasar-menengah, Pendidikan Formal: Pendidikan Tinggi,Pendidikan Non-formal: Pendidikan (dalam) Keluarga, PendidikanNon-formal: Kaum Muda (termasuk masalah narkoba), Kesehatan, Kekerasandalam Rumah Tangga dan Ketidaksetaraan Gender. Tanda-tanda zaman iniakan dikenali lebih baik bila dialami sampai menyentuh hati, diketahuisecara cermat dengan data dan fakta yang sedang terjadi pada zaman kita.Sedangkan pesan cahaya Injil dimengerti bila naskah Kitab Suci danTradisi Gereja yang kaya dibaca dan direnungkan, diolah dalam doa,meditasi dan kontemplasi, sehingga pesan Injil dapat menerangitanda-tanda zaman tersebut. Dengan cara itu pilihan untuk bersikap danbertindak secara tepat dapat ditentukan.
GERAK INKARNATORIS ALLAH.
5. Dasar terdalam dari segala upaya tersebut akhirnya terletakdalam iman kristiani kita sendiri, khususnya iman kita akan Putra Allahyang menjadi manusia dan masuk ke dalam dunia kita yang konkret, duniayang telah kehilangan keadaban publik. Firman telah menjadi manusiadalam "daging" (inkarnasi)[1], dan diam di antara kita (Yoh 1:14).Dengan mengalami nasib manusia, Yesus menyatakan solidaritas-Nya denganmanusia yang dipandang sekadar daging, yaitu mereka yang miskin takbermilik, sakit kusta, lumpuh, buta, sampah masyarakat, dan lain-lain.Solidaritas Yesus tinggal bersama-sama dengan menjadi daging membesarkanhati kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Kepada mereka diwartakanbahwa tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19). Mereka diberiharapan untuk bertahan dan berjuang memelihara kehidupan sebagaianugerah Allah Sang Pencipta, Bapa-Nya. Orang-orang miskin diberi-Nyapencerahan bahwa dengan solidaritas mereka mampu saling memberdayakan.Bahkan sebagai ungkapan solidaritas-Nya dengan manusia, hidup-Nyasendiri Ia berikan supaya manusia dan seluruh alam semesta selamat danhidup. Karena solidaritas-Nya, Ia rela mati di salib sebagai manusiadalam daging (Fil 2:8).
6. Gereja dipanggil untuk mengikuti gerak inkarnatoris Allah yangmenjadi nyata dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus. Seperti Allahsendiri, Gereja tidak boleh lari dari kenyataan keras dunia yang tidakberadab. Ia juga tidak boleh menunggu sampai dunia ini beradab lebihdahulu, melainkan diutus untuk masuk ke dalam dunia yang tidak beradabitu dan mewujudkan hakikatnya dengan mengupayakan keadaban publik. BilaGereja menemukan jati dirinya dalam Yesus Kristus yang menjadi daging,maka seperti Kristus, Gereja pun harus berani mengalami nasib menjadikorban untuk mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan. Dengandemikian Gereja berada di pihak manusia yang menjadi korbanketidakadilan. Jati diri Gereja ini hendaknya diwujudkan dalamhabitus[2] baru, yaitu solider dengan korban. Untuk itu perludikembangkan spiritualitas kesaksian (martyria) yang terwujud dalamkesedian untuk berkorban, untuk melayani tanpa pamrih, dan untukmewartakan kabar sukacita dengan menjadi saksi kabar sukacita tersebut.
PERTOBATAN MENUJU GERAKAN
7. Tentu saja Gereja sadar, ia sendiri tidak luput dariketidakadaban dan juga terlibat secara langsung ataupun tidak langsungdalam terciptanya ketidakadaban publik. Maka upaya Gereja untukmengikuti gerak inkarnatoris Allah itu pertama-tama harus dimaknaisebagai gerak pertobatan. Oleh karena itu SAGKI 2005 diawali denganpengakuan akan keterlibatan Gereja dalam menciptakan atau membiarkanterjadinya ketidakadaban publik di ketiga poros yang meliputi BadanPublik, Pasar dan Masyarakat Warga. Gereja tidak selalu menunjukkankomitmen yang jelas untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik,sebagaimana diteladankan oleh Yesus Kristus.
8. Itu semua dapat terjadi karena kehidupan Gereja masih dikuasai olehhabitus lama yang tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Tuhansendiri sebagaimana menjadi nyata dalam peristiwa inkarnasi. Habituslama tersebut misalnya: tidak terbiasa dan tidak membiasakan diri untukmembaca realitas sosial secara kritis dan memecahkan persoalan karenacari aman, mental instan, cari enak dan selamat; merasa tidak berdayakarena merasa minoritas; pemisahan antara sakral-profan, sekuler-rohani;lebih banyak mengkritik daripada berbuat; sombong; lebih banyakmemperjuangkan agama dan lebih banyak omong daripada hidup beriman. Olehkarena itu habitus lama tersebut harus ditinggalkan. Gereja perlumencari dan mengembangkan habitus baru. Habitus baru misalnya:melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan positif masyarakat (organisasidll); perubahan pola pikir (dikotomis, dll); setia pada proses, tekun,militan, selalu membuka diri terhadap semua kelompok; memberiketeladanan, pewartaan nilai, roh memperjuangkan kesalehan sosial.[3] Habitus baru tersebut hendaknya dibangun berdasarkan semangatInjil (Mat 5-7) melalui latihan terus menerus supaya menjadi sikap hidupyang baru, baik sebagai pribadi maupun secara kolektif. Agar habitustidak jatuh sekadar sebagai kebiasaan belaka, maka membangun habitusbaru perlu dilengkapi dengan refleksi terus menerus[4]. Gerak darihabitus lama menuju habitus baru merupakan jalan pertobatan dari manusialama yang dikuasai dosa menuju manusia baru yang dikuasai firman. Jalanpertobatan tersebut adalah jalan salib yang mengubah kematian menjadiawal kehidupan baru. Diharapkan dengan membangun habitus baru Gerejahadir sebagai persekutuan komunitas-komunitas pengharapan dalamperjuangan masyarakat Indonesia menuju kemerdekaan sejati.
9. Dalam upaya mewujudkan keadaban publik berdasarkan habitus barusesuai dengan situasi kontekstual Indonesia, kita perlu bertitik tolakdari berbagai macam indikasi ketidakadaban yang ditemukan dalam porosBadan Publik, Pasar dan Masyarakat Warga (bdk. 17 pokok masalah). Kitaperlu melihat kaitan-kaitan yang ada antara berbagai indikasiketidakadaban publik tersebut dan menemukan faktor-faktor penyebab utamayang paling strategis. Atas dasar itu kita dapat menentukan pintumasuk[5] yang tepat untuk mengatasi ketidakadaban yang terjadi. Duakriteria digunakan untuk memilih pintu masuk tersebut. Pertama, pintumasuk yang dipilih itu adalah pintu masuk yang paling mempunyai dampakbagi pemecahan masalah. Kedua, pintu masuk yang dipilih itu adalahsesuatu yang paling realistis untuk dimasuki Gereja Katolik baik sebagaiinstitusi maupun sebagai komunitas (sesuai dengan kewenangan, kemampuandan sumber daya yang dimiliki).
POINT ENTRY
Adapun pintu masuk yang dipilih olehketujuhbelas kelompok berkaitan dengan 17 pokok masalah tersebut adalahsebagai berikut.
  1. Keretakan hidup Berbangsa dan Formalisme Agama Penegasan Pancasila dalam kehidupan berbangsa
  2. Otonomi Daerah dan masyarakat adat Mengatasi apatisme masyarakat warga
  3. Korupsi: masalah budaya Pendidikan nilai
  4. Korupsi: masalah lemahnya mekanisme kontrol, meningkatkan fungsi kontrol dan memperbaiki sistem hukum.
  5. Kemiskinan Budaya menabung
  6. Pengangguran, Pendidikan manusia seutuhnya. Pendidikan yang menekankan apekproduktivitas, kreativitas, inovasi, kewirausahaan, dan kemandirian yangdijiwai iman, cinta kasih, kebebasan dan keteladanan.
  7. Kriminalitas/premanisme Meningkatkan moralitas kepemimpinan yang merosot
  8. Perburuhan,Mengatasi kehidupan buruh yang menderita dan tertindas. Mengontrol kebijakan perburuhan dan industri yang tidak pro-buruhdan kurang mendukung iklim usaha yang kondusif dan adil.
  9. Pertanian Pemberdayaan petani
  10. Lingkungan hidup: berkaitan dengan hutan Budaya masyarakat adat dan kearifan lokal (masyarakat asli/pemilikhutan sebagai komunitas)
  11. Lingkungan hidup: berkaitan dengan non-hutan Mengatasi polusi (tanah, udara, dan air)
  12. Pendidikan formal: pendidikan dasar-menengah Sumber Daya Manusia
  13. Pendidikan formal: pendidikan tinggi Undang-undang dan sistem pendidikan nasional
  14. Pendidikan non-formal: pendidikan (dalam) keluarga Pendampingan keluarga
  15. Pendidikan non-formal: kaum muda Spiritualitas dan karakter kristiani Orang Muda Katolik (OMK)
  16. Kesehatan Meningkatkan mutu dan jumlah SDM dalam bidang kesehatan
  17. Kekerasan dalam rumah tangga dan ketidaksetaraan gender Konstruksi sosial gender
Pencarian dan penemuan pintu masuk ini dapat dimaknai sebagai pencariandan penemuan titik sasaran yang tepat guna menjelmakan(menginkarnasikan) habitus baru berdasarkan nilai-nilai kristiani. Padatitik sasaran itulah kita kemudian perlu merumuskan dan melaksanakantindakan nyata (focus tindakan) guna mewujudkan keadaban publik baru.Dalam kesinambungan dengan SAGKI 2000, perhatian diberikan padakomunitas basis. Dan dalam kelanjutan dengan Pernas 2005, perhatian jugaterutama ditujukan kepada kaum muda. Karena itulah kemudian para pesertaSAGKI 2005 dalam kelompoknya masing-masing berdiskusi dan menyepakatisejumlah focus tindakan yang akan dilakukan baik oleh kaum muda maupunoleh komunitas basis. Sejumlah contoh dari hal-hal yang disepakati untuk dilakukan oleh kaummuda berkaitan dengan ketujuh belas pokok masalah tersebut di atasadalah sebagai berikut: mengaplikasikan kesadaran gender dalam kehidupansehari-hari, memberi pendampingan terhadap korban ketidakadilan gender(peer group-korban bantu korban), mengolah seni budaya produktif,pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan sejak usia muda, membangundan mengoptimalkan komunitas orang muda yang berbelarasa, menggencarkanaksi gerakan anti-korupsi melalui cara-cara persuasif maupun pressure,membangun jejaring gerakan anti korupsi bersama dengan elemen masyarakatlain, menumbuhkan kepedulian tentang perburuhan, menyelenggarakanpendidikan nilai cinta pada alam berbasis kearifan lokal, mengadakanpendekatan kultural untuk menghargai lingkungan, membangun jaringandengan membuka akses pada lembaga peduli lingkungan yang sudah ada,melibatkan dan membuka diri dalam kegiatan-kegiatan sosialkemasyarakatan, revitalisasi Panca Sila sebagai norma hidup berbangsadan bernegara, mengusahakan advokasi melawan kebijakan publik yangmenindas petani.[6] Adapun beberapa contoh dari hal-hal yang disepakati untuk dilakukan olehkomunitas basis adalah sebagai berikut: menyediakan bahan katekese yangmendukung komunitas basis untuk memperjuangkan kesetaraan gender,membangun diri (komunitas basis) sebagai komunitas alternatif yang adilgender, membantu buruh memperoleh akses ke badan publik, membentuklembaga advokasi perburuhan, menanami lahan kritis dengan tanamanunggulan lokal, menanamkan kecintaan terhadap lingkungan dalam keluarga,membangun jaringan dengan lembaga-lembaga peduli lingkungan yang sudahada, mengembangkan kepemimpinan untuk menyiapkan kader yang mampumenggerakkan berbagai kelompok masyarakat, memperjuangkan internalisasinilai-nilai Panca Sila dalam aktivitas hidup sehari-hari melaluikerjasama dengan berbagai jaringan lintas golongan, agama, suku dankebudayaan, mendalami ajaran sosial Gereja tentang kesehatan,mengupayakan dana solidaritas bagi keluarga yang tak mampu, mengadakanaksi peduli hidup sehat, menyebarluaskan visi hidup organik denganmengembangkan pertanian yang ramah lingkungan, membina kepemimpinanpartisipatif pada komunitas basis, membantu mereka yang lemah untukmembuka berbagai macam usaha (pemberian modal awal), peningkatankomunikasi dalam keluarga yang lebih baik, intensif dan berkualitas,mendukung dan memfasilitasi kemandirian kaum muda, memperluas jejaringuntuk menyuarakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam konteksgerakan anti-korupsi, mencermati dan mengkritisi kebijakan publik didaerah masing-masing serta mengambil langkah-langkah konkret ataspenyimpangan yang terjadi.[7]
REKOMENDASI
10. Agar tindakan nyata itu tidak bersifat sporadis dan sesaat saja,perlu diupayakan agar ia menjadi sebuah gerakan yang memiliki - selainfocus tindakan yang jelas - juga kelembagaan yang sesuai sertakepemimpinan yang kuat. Kita melihat komunitas basis[8] sebagaikelembagaan yang sesuai, serta kaum muda sebagai pemimpin dalam upayamengembangkan keadaban publik. Kita mencatat hasil SAGKI 2000 yangmenekankan pemberdayaan komunitas basis yang terbuka sebagai awal baruhidup menggereja[9].
11. Jelaslah pula kiranya, bahwa kaum muda dan komunitas basis tidakboleh kita biarkan bergerak sendirian saja. Gereja, baik sebagaiinstitusi maupun sebagai komunitas, perlu memberikan dukungan yang nyatadan penuh. Menurut para peserta SAGKI 2005, dukungan tersebut dapatdiberikan melalui berbagai macam cara dan bentuk seperti misalnya:Gereja mengadakan pelatihan pengolahan hasil hutan yang ramahlingkungan, mengadakan kolekte khusus untuk pemeliharaan lingkunganhidup, membentuk wadah pemerhati lingkungan, menaruh perhatian padaperayaan hari lingkungan hidup, memprioritaskan anggaran dan membuatkegiatan-kegiatan kaum muda yang berbasis gender, mengorganisir kaummuda untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran nilai-nilai kehidupanserta memberi dukungan finansial konkret untuk itu, mendorong danmendukung kaum muda untuk membentuk forum lintas agama dan kepercayaandalam rangka gerakan anti korupsi, hadir secara personal ketika aktivissosial kemasyarakatan orang muda katolik dalam situasi sulit akibatperjuangannya melawan ketidakadilan, mendukung dan membantu komunitasbasis untuk mengadakan pelatihan yang berkenaan dengan kegiatan antikorupsi, memberikan penghargaan dan melibatkan para aktivis sosialkemasyarakatan dalam aktivitas di lingkungan gereja, mengalokasikan danakhusus untuk mendukung pelaksanaan program tindakan nyata bagi komunitasbasis mencapai habitus baru, mendorong perubahan paradigma dalam carahidup menggereja secara aktif dan partisipatif, menyelenggarakan lembagapendidikan pertanian, menganjurkan dan mengupayakan agar muatan lokaltentang visi pertanian ramah lingkungan masuk dalam kurikulum pendidikanformal, mendorong komisi-komisi untuk menyusun bahan-bahan pendalamantentang nilai-nilai Pancasila, membentuk dan melatih para kaderkomunitas basis untuk mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila,memberikan pendampingan bagi komunitas basis untuk sadar gender secaraberkesinambungan dan intensif.[10]
12. Melalui dukungan yang nyata dan penuh tersebut, upaya melaksanakantindakan nyata pada titik sasaran yang tepat berdasarkan habitus barudemi terwujudnya keadaban publik diharapkan lalu dapat mewujud menjadigerakan. Dengan demikian kita sampai kembali pada seruan yangmenggerakkan seluruh SAGKI 2005 ini: Bangkit dan Bergeraklah! GerejaMembentuk Keadaban Publik Baru Bangsa. Sebagai umat minoritas, amatlahterbatas apa yang dapat dilakukan Gereja. Namun Gereja percaya bahwabanyak pihak lain merasakan kebutuhan yang sama akan terciptanyaKeadaban Publik. Karena itu Gereja mengajak semua pihak lain yangberkehendak baik, untuk sama-sama bergerak membentuk keadaban publikbaru itu.
13. Selanjutnya Sidang merekomendasikan supaya perangkat pastoral diKWI, keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki memfokuskan program mereka -dengan sistem dan perangkat pemantauan yang efektif - demi kesinambungangerakan ini. Kesinambungan perlu dipertahankan dengan penyusunan programdan rencana aksi yang jelas, serta program evaluasi berkala, baik padatingkat paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan, maupun pada tingkat KWI.Selanjutnya sidang juga mendorong pembentukan forum kontak peserta SAGKI2005 sebagai sarana untuk mengkoordinasi informasi sampaipenyelenggaraan SAGKI berikut.[11]
14. Akhir kata, hasil selengkapnya seluruh persidangan akan diterbitkandalam waktu dekat agar dapat digunakan sebagai panduan untuktindaklanjut SAGKI 2005 di keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia.
--------------------------------------------------------------------------------
CATATAN KAKI
[1] Kata inkarnasi berasal dari kata latin in carne yang berarti menjadidaging. Dalam Kitab Suci bahasa Indonesia, inkarnasi diterjemahkansebagai menjadi manusia. Dari kata inkarnasi itu kemudian kita kenalistilah inkarnatoris yang menunjuk pada gerak Allah menjadidaging/manusia.
[2] Habitus adalah "gugus insting, baik individual maupun kolektif, yangmembentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, caramendekati, cara bertindak dan cara berelasi dengan seseorang ataukelompok." Nota Pastoral KWI 2004, butir 10.
[3] Lih. Lampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[4] Narasumber Ignas Kleden mengingatkan:"Salah satu kelemahan habitusyang pokok ialah bahwa dia tidak bersifat reflektif (sekalipun jugatidak mekanis), sementara kehidupan rohani menuntut refleksiterus-menerus dengan rujukan yang sadar kepada nilai-nilai dan motivasiyang melandasi suatu tindakan. Kekurangan ini dapat diatasi kalau momenrefleksi itu kembali dimasukkan ke dalam habitus, agar supaya persepsidan praktek yang didorong oleh habitus dapat memperoleh maknanyakembali." (lihat I.Kleden, Habitus: Iman dalam Perspektif CulturalProduction, dalam Kumpulan Makalah dan Bacaan Pelengkap SAGKI 2005)
[5] Pintu masuk merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris entrypoint.
[6] Hasil lengkap diskusi dari ketujuhbelas kelompok dapat dilihat dalamLampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[7] Hasil lengkap diskusi dari ketujuhbelas kelompok dapat dilihat dalamLampiran Laporan Diskusi Kelompok.
[8] Komunitas basis itu dipandang sebagai satuan umat yang relatif kecildan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah,berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupunmasalah sosial, dalam mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci (bdk.Kis 2:1-47). Komunitas basis seperti ini terbuka untuk membangun suatukomunitas yang juga merangkul saudara-saudara beriman lain (lih. GerejaYang Mendengarkan, hal. 14).
[9] Hasil Sidang Agung ini diharapkan dapat membantu mendorong danmemberdayakan berbagai komunitas basis dengan jaringannya di mana pun,.. mendorong tumbuhnya berbagai komunitas basis di mana komunitas basisbelum dimulai dan berkembang (lih. Gereja Yang Mendengarkan, hal. 19).Tetapi disebutkan juga:"Arti komunitas basis dan bagaimana perwujudanserta pengembangannya perlu ditemukan oleh komunitas-komunitas setempat"(lih. Gereja Yang Mendengarkan, hal. 13)
[10] Data lengkap mengenai hal ini dapat dilihat dalam Lampiran LaporanDiskusi Kelompok.[11] Rekomendasi lengkap mengenai kesinambungan ini dapat dilihat dalamLampiran Laporan Diskusi Kelompok.
 

ARCHIVES
March 2006 /


Powered by Blogger